Dinamika
Gelandangan dan Pengemis
Menurut
Kementerian Sosial (2011) “Gelandangan” adalah orang yang hidup dalam keadaan
tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat
serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di tempat
tertenrtu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan “Pengemis” adalah
orang – orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan
berbagai alasan untu k mengharapkan belas kasihan orang lain.
Berdasarkan
tabel di atas terlihat bahwa jumlah gelandangan terus mengalami penurunan yang
signifikan, sementara jumlah pengemis mengalami peningkatan yang cukup tinggi,
namun secara total jumlah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) mengalami penurunan
pada tahun 2011 meskipun masih lebih besar dibanding tahun 2009. Penurunan
jumah gelandangan tidak terlepas dari upaya keras pemerintah maupun pihak-pihak
pemerhati masalah gelandangan agar permasalahan ini dapat dikurangi karena akan
membawa dampak terhadap terhadap stabilitas social terutama di daerah
perkotaan. Sementara pengemis, mengalami fluktuatif yang cukup tinggi karena
golongan ini sulit diperkirakan perubahannya, terlebih pada waktu – waktu
tertentu seperti perayaan hari keagamaan akan mengundang munculnya pengemis
musiman, terlebih pad a bulan puasan dan lebaran.
Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Nusa Tenggara Barat selama tahun 2008
-2011 mengalami dinamika yang berfluktuatif. Pada tahun 2008 berjumlah
1.314.268, meningkat menjadi 1.518.064 dan pada tahun 2011 turun menjadi
1.306.208. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh faktor internal manusia maupun
faktor ekternalnya. Berbagai permasalahan yang ada didominasi oleh faktor
internal yang dipengaruhi terutama berkaitan dengan kestabilan karakter maupun
sifat manusia yang terkadang tidak dapat dikendalalikan. Faktor emosional
didorong oleh hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan memicu timbulnya
berbagai permasalahan yang berdampak pada masalah internal keluarga bahkan
merambah kepada lingkungan yang lebih luas. Kekuatan dan kestabilan iman juga
turut mendorong hawa nafsu untuk melakukan hal-hal di luar norma dan etika
serta kurangnya dukungan pihak keluarga menyebabkan manusia melakukan hal-hal
yang di luar batas kewajaran yang terkadang merendahkan harkat dan martabatnya
sebagai manusia. Pada sisi lain, himpitan ekonomi yang semakin terdesak,
menyebabkan mereka melakukan hal-hal yang semestinya tidak dilakukan, pekerjaan
dan kesempatan kerja terbatas, akses untuk mengembangkan diri yang tertutup
terutama berkaitan dengan aktivitas ekonomi, daya dukung lingkungan yang tidak
ada sama sekali serta menipishnya rasa tenggang rasa dan kepedulian dari pihak
lain semakin memberikan peluang untuk melakukan hal – hal yang mengarah pada
instabilitas social. Sementara faktor ekternal yang memang di luar batas
kemampuan seperti bencana alam, gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lainnya akan
menambah derita yang berkepanjangan sehingga semakin menambah manusia yang
tergolong sebagai penyandang masalah kesejahteraan social.
Berdasarkan
tabeL di atas terlihat bahwa jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) pada tahun 2011 mengalami penurunan di banding tahun 2009 sebesar -9,19
persen, dan sebesar – 0,64 persen dibanding tahun 2008, namun terdapat beberapa
jenis yang mengalami peningkatan. Dari gambaran data di atas, tampaknya masalah
kesejahteraan social masih menjadi agenda utama yang tetap dijalankan oleh
pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Masalah kesejahteraan social memang
tidak dapat dilepaskan dari permasalahan mendasar yaitu permasalahan ekonomi
misalnya fakir miskin dan rawan social ekonomi yang membawa dampak luas terhadap
timbulnya masalah social ( anak balita terlantar, anak terlantat, anak jalanan,
gelandangan, pengemis) dan juga kondisi fisik rumah tempat tinggal mereka.
Akibat lanjutannya adalah tercipta ketidak stabian social diantaranya timbul
kekerasan dalam rumah tangganya. Menurut Usman (2012) dalam perspektyif
sosiologi, kekerasan merupakan prilaku social yang menjadi produk dan stimulant
perilaku – perilaku seseorang terhadap orang lain. Kekerasan merupakan salah
satu indikasi bahwa masyarakat sedang “sakit” dimana faktor non adaptive lebih
berkembang dari pada faktor adaptive. Dalam kondisi demikianmasyarakat dilanda
krisis nilai dan norma social yang sejak lama disosialisasikan tidak lagi
dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan interaksi social. Di samping itu
norma social tidak mampu mengendalikan arah prilaku anggota masyarakat karena
ada kekecewaan berat baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi,
politik maupun cultural, tidak terpenuhi. Meskipun data pada table di atas
menunjukkan bahwa tindak kekerasan mengalami penurunan, namun gejala ini terus
diwaspadai, mengingat akhir – akhir ini muncul berbagai peristiwa kekerasan
dengan bentuk yang beraneka dan hanya dipicu hal- hal yang sederhana. Jika hal
ini terus terjadi, maka pengentasan penduduk penyandang masalah kesejahteraan
social dan pen capaian kesejahteraan sulit diwujudkan.
Berkaitan
dengan hal ini, ekonomi Islam melihat aspek utama yang dikedepankan dan
diperhatikan untuk mewujudkan kestabilan social sekaligus kesejahteraan social berpulang
pada aspek sumberdaya manusia (SDM). Kita mengkaui bahwa hingga saat ini
kualitas SDM masih sangat rendah dilihat dari berbagai indicator, sehingga
sehingga berpeluang sekaligus berpotensi untuk menimbulkan instabiltas. Salah
satu lokomotif pembentuka SDM berkualitas adalah bersumber dari lembaga mikro
yang bernama keluarga.
Menurut
Chapra (2010), keluarga tidak akan mampu menjalankan peran mereka; pertama,
jika orang tua tidak memiliki kualitas pribadi yang memungkinkannya untuk
mendidik anak-anaknya, dan kedua jika dalam sebuah keluarga tidak terdapat
nuansa cinta dan perhatian, saling peduli dan menyanyangi. Jika dalam lingkup
mikro sudah terdapat gejala demikian, maka dalam lingkup yang luaspun
(masyarakat) akan sulit tercipta masyarakat idel yang diharapkan. Masyarakat
ideal yang dimaksudkan adalah masyarakat dalam melakukan aktivitasnya selalu
dilandasi oleh nilai-nilai normative baik yang bersumber dari ajaran agama yang
dianut maupun yang tercipta berdasarkan tradisi maupun kebiasaan. Menurut
Kaelany (2005), masyarakat ideal yang diciptakan islam adalah masyarakat
Mardhatillah karena masyarakat tersebut terbangun dan terbina oleh dan dala m
struktur yang berpolakan hokum-hukum Allah dengan sumbernya Al-Qur’an dan
sunnah Rasul.
Aktivitas
ekonomi yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan tidak dapat terlepas dari
aturan normative yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an, Al-Hadist maupun
Ijtihad. Prinsip utama yang dikedepankan ekonomi Islam adalah tercapainya falah
yaitu kebahagiaan umat manusia dilihat dari spiritual, moral dan social ekonomi
di dunia dan kesuksesan di akhirat . Ssitem ekonomi islam bertujuan mencapai
kesejahteraan ekonomi dan kebaikan masyarakat melalui distribusi sumber-sumber
materiil yang merata dan melaui pen egakan keadilan social (Chaudry, 2012).
Berbagai
jenis penyandang masalah kesejahteraan social di atas dikaitkan dengan tujuan
dari ekonomi Islam, mengindikasikan bahwa tujuan tersebut masih jauh dari
harapan, karena kebahagiaan yang dituju tidak dapat digapai bahkan semakin
jauh, justru kesengsaraan , kenestapaan dan penderitaan yang sering bersahabat,
keadilan distribusi masih jauh dari kenyataan justru yang muncul adalah
penumpukan harta dan sikap individualisme. Sikap indiivualisme merupakan sikap
yang dihasilkan oeh sistem ekonomi konvensional kapitalis, yang tidak mengenal
adanya distribusi harta untuk pihak lain, justru orang dianjurkan untuk
menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Buah karya dari sistem ini, semakin kita
rasakan bahkan dengan jargon globalisasi sistem ekonomi konvensional kapitalis
telah membuat kita terlena dengan segala strateginya.
Menurut
Fakih (2011) proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkemabangan paham
kapitalisme, yakni kian terbuka dan menggelobalnya peran pasar, investasi dan
proses produksi dari perusahaan – perusahaan transnasional yang kemudian
dikuatkan oleh idiologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan
yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global. Atas dasar ini
perekonomian global telah menimbulkan berbagai permasalahan baru bahkan krisis
– demi krisis datang silih berganti dan titik akhirnya mem buat orang semakin
jauh dari kesejahteraan dan menambah penyandang masalah kesejahteraan social.
Dari 22
jenis permasalahan social di atas, yang menjadi salah satu permasalahan yang
dihadapi oleh pemerintah baik pusat maupun NTB adalah Pengemis dan Gelandangan.
Dalam kacamata ilmu ekonomi baik ekonomi konvensional terlebih ekonomi Islam
masalah ini menjadi topic analisis dan kajian bahkan dijadikan sebagai sasaran
utama dari tujuan pembangunan yaitu tercapai kesejahteraan hakiki sebagai
manifestasi dari fungsi dan kedudukan manusia yang terhormat dan istimewa di
muka bumi ini. Pengemis dan gelandangan terutama yang dilakukan oleh anak-anak
akan membawa dampak negative bagi keberlanjutan kehidupannya di masa depan.
Karena tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, serta terbiasa dengan meminta
– minta menjadikan mereka menjadi generasi yang lemah, generasi yang hanya
mengharapkan belas kasih dari orang lain, generasi yang tidak mandiri, generasi
yang menjadi beban orang lain, dan dilihat dari kacamata Sumber Daya Manusia
tergolong sebagai generasi dengan kualitas yang sangat rendah bahkan dilihat
dari strata social mereka gergolong sebagai kelompok yang paling rendah jika
tidak dikatakan terhina. Akibatnya, mereka tidak dapat mengembangkan dirinya,
mereka hidup terlunta – lunta, berjalan dengan tidak arah dan tujuan yang jelas
dan dilihat dari harkat kemanusiaan maka ia tergolong sebagai manusia yang tidak
terhormat dan tidak istimewa lagi. Jika dilihat sebaran berdasarkan
kabupaten/Kota jumlah pengemis dan gelandangan terlihat dalam table berikut.
Berdasarkan
table di atas terlihat bahwa pada tahun 2008 Gelandangan berjumlah 633 orang
mengalami peningkatan menjadi 1.275 orang pada tahun 2011 sementara pengemis
mengalami penurunan dari 429 orang pada tahun 2008 menjadi 339 orang pada tahun
2011. Dilihat dari sebaran kabupaten/Kota, terlihat perubahan yang luar biasa
khususnya yang terjadi di Kota Mataram. Jika pada tahun 2008 pengemis berjumlah
35 orang dan pada tahun 2011 tidak ditemukan satu pengemispun, namun
gelandangan pada tahun 2011 berjumlah 962 orang yang semula berjumlah 187 orang
pada tahun 2008. Fenomena ini menjadi permasalahan tersendiri bagi kota Mataram
yang menjadi barometer perkembangan perekonomian di Nusa Tenggara Barat. Hal
ini dikaitkan dengan fungsi ganda yang diperankan oleh kota Mataram sebagai
ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang tentunya memiliki sarana dan
infrastruktur yang lebih lengkap dibanding dengan Kabupaten/Kota lainnya,
sehingga menarik masyarakat untuk mengadu nasibnya di kota ini meskipun dengan
menjadi gelandangan atau mengemis sekalipun. Dampaknya adalah beban yang
ditanggung kota Mataram semakin dan semakin membuka lebar permasalahan social
ekonomi. Kebijakan strategis yang dilakukan oleh Kota Mataram berk aitan dengan
masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng), telah dikeluarkan Perda No. 5 Tahun
2013.
Berkaitan
dengan hal tersebut, untuk memberikan pemahaman kepada masyaraka agar
mengurangi gelandangan dan kemiskinan, pada setiap tempat – tempat strategis
telah dipasang spanduk yang berisi himbauan kepada masyarakat umum untuk tidak
memanjakan dan memberi kepada Gelandangan dan Pengemis dalam bentuk apapun, karena
cara demikian akan menambah jumlah Gelandangan dan Pengemis dan membiarkan
mereka menjadi orang yang malas dan tidak mandiri. Cara ini dilakukan untuk
meminimisasi dan menghapus kebiasaan masyarakat terutama anak-anak yang masih
memiliki masa depan yang cerah dari kebiasaan meminta-minta termasuk bagi
masyarakat lainnya dengan membawa nama yayasan atau rumah-rumah ibadah. Di
Kabupaten Bima dan Kota Bima jumlah pengemis mengalami peningkatan sementara
jumlah gelandangan mengalami peningkatan, dan prestasi yang luar biasa dicapai
oleh Kabupaten Dompu, jumlah gelandangan maupun pengemis mengalami penurunan
yang luar biasa dimana pada tahun 2009 jumlah gelandangan dan pengemis mencapai
492 orang dan pada tahun 2011 tinggal 84 orang, sedangkan kabupaten lainnya
tidak mengalami perubahan jumlah gelandangan maupun pengemis. Secara total
jumlah gelandangan dan pengemis di Nusa Tenggara Barat mengalami peningkatan
dari 1.209 orang pada tahun 2009, menjadi 1.614 orang pada tahun 2011.
Mencermati
tampilan data di atas, masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) masih menjadi
agenda nasional dan daerah untuk memecahkannya, karena dilihat dari aspek
manapun kondisi ini akan terus berkembang bila tidak dicarikan akar
permasalahannya. Menjadi gelandangan atau mengemis secara ekonomi mendatangkan
keuntungan bagi pelakunya, karena dengan melakukan pekerjaan itu mereka
mendapatkan pendapatan yang banyak, sehingga pekerjaan ini dalam jangka panjang
akan menjadi penyakit social.
Pemanfaatan
dari hasil pekerjaan sebagai gelandangan maupun mengemis berdasarkan pantauan
sesaat memang tertuju pada pemenuhan kebutuhan baik ekonomi maupun social,
namun tidak sedikit dari hasil pekerjaan ini dimanfaatkan untuk hal-hal
negative yang justru akan menciptakan permasalahan baru baik dalam lingkup
mikro maupun makro. Seiring dengan perjalanan dan perputaran waktu, pekerjaan
ini telah menghantarkan mereka untuk membuat keputusan yang pendek, karena
tanpa mengorbankan tenaga yang besar, mereka mampu meraup pendapatan yang
banyak, sehingga mengajak lagi saudara- saudara yang lainnya untuk mengikuti
pekerjaan yang sama sehingga akan menyebabkan jumlahnya semakin bertambah.
Timbullah sikap malas untuk berusaha dengan mengorbankan tenaga dan pikiran,
timbullah sikap untuk menerima saja dan dampak negative lainnya.
Permasalahan
gelandangan dan pengemis sangatlah tidak bijak bila semata – mata diarahkan
kepada sifat dan sikap yang sumber dari pelaku sebagai faktor utama yang
menimbulkannya. Namun kita harus bijak mengatakan bahwa permasalahan gepeng juga
sebagai akibat dari proses pembangunan yang telah maupun yang akan
dilaksanakan. Kebijakan – kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, terkadang tidak bersentuhan langsung dengan
upaya pengurangan kemiskinan sehingga menimbulkan gelandangan dan pengemis. Kue
pembangunan nasional hanya dinikmati oleh sebahagian kecil orang yang memang
kondisinya sudah mapan, sementara mayoritas rakyat yang masih kekurangan masih
berkutat dengan kekurangannya. Oleh karenanya dengan melihat realita yang
terjadi disekelilingnya, mereka terpengaruh untuk melakukan pekerjaan meminta-
minta meskipun nyawa dan fisik menjadi taruhannya, dan dililhat dari aspek
spiritual mereka tidak lagi menghiraukannya yang penting mendapa t penghasilan
dan dapat memenuhi kebutuhan.
Pemenuhan
kebutuhan hidup dalam ekonomi Islam telah diatur sedemikian indah dan teratur
dalam Al-Qur’an Maupun Al-Hadist karena ini memang menjadi tujuan akhir yang
ingin dicapai oleh manusia. Hidup yang sejahtera dan bahagia mustahil tercapai
tanpa ketercukupan secara financial, dan pengamalan ajaran agama yang benar.
Sebagai makhluk social, dalam hidupnya manusia membutuhkan adanya
manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat, karena menurut
sunnatullah, tidak mungkin manusia dapat hidup sendiri tanpa kerja sama atau
saling ketergantungan dengan manusia lain (Chalil, 2009). Dalam kontek inilah,
ekonomi islam mengajarkan bahwa manusia yang satu haru berusaha dan berikhiar
untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa yang selanjutnya barang dan jasa
tersebut dapat dipertukarkan dengan manusia yang lain yang menghasilkan barang
dan jasa yang berbeda. Dari hasi barang dan jasa ini dihasilkan pendapatan yang
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya, dan Allah sudah menggariskan bahwa
tidak ada satu manusiapun yang memiliki rejeki yang sama, ada yang banyak dan
ada yang sedikit. Dari manusia yang menghasilkan pendapatan yang banyak (kaya)
dapat mendistribusikan sebagian hartanya untuk orang lain yang kurang mampu.
Inilah yang menjadi prinsip utama ekonomi islam, yaitu terciptanya distribusi
harta untuk mewujudkan keadilan. Kerangka keadilan memungkinkan setiap orang
memiliki peluang, control dan manfaat dari alokasi pembangunan yang berlangsung
secara proporsional. Berkaitan dengan hal tersebut, islam sangat menjunjung
tinggi hak kepemilikan individu atas sesuatu (Amalia, 2009). Prinsip distribusi
harta atau kekayaan dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekayaan pada
satu golongan sementara golongan lain tidak dapat memenuhi kebutuhannya,
sehingga mengakibatkan mereka melakukan pekerjaan meminta- minta yang sangat
tidak ditolerir dalam Islam.
Meminta –
Minta dalam Perspektif Ekonomi Islam
Islam
sebagai agama samawi yang terakhir, diturunkan untuk memperbaiki harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan istimewa agar memiliki
derajat yang berbeda dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Melalui kitab suci
Al-Qur’an dan hadist –hadist Rasulullah SAW telah menjadikan serta menempatkan
manusia sebagai subyek sekaligus obyek dalam aktivitas kehidupan di dunia.
Manusia memiliki unsur yang sempurna dan lengkap dan diciptakan dalam bentuk
yang terbaik (QS. At-tin ayat 4) di antaranya diberikan kelebihan AKAL yang
tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia kecuali Malaikat, itupun bersifat
statis, artinya akal malaikat hanya dipergunakan untuk mengabdi/menyembah Allah
SWT, sementara akal manusia bersifat dinamis. Oleh karenanya, manusia
diwajibkan untuk menjelajah bumi dan isinya dengan melakukan aktitivitas atau
bekerja. Upaya dan ikhtiar yang dilakukan oleh manusia melalui bekerja
merupakan sunatullah, sekaligus sebagai manifestasi dari rasa tanggung jawab
manusia sebagai hamba Allah yang bertugas sebagai pemimpin (khalifah). Wujud
dari kepemimpinan manusia adalah memanfaatkan seluruh yang tersedia di bumi dan
isinya untuk mencapai kesejahteraan hakiki di dunia dan di akhirat. Namun Allah
SWT memberikan rambu-rambu bahwa jalan dan cara untuk mencapai kesejahteraan
hakiki tersebut, manusia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya, memusatkan
pemenuhan jangka pendek dengan menguras habis seluruh potensi dan isi bumi
tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kelestarian untuk generasi yang akan
datang (QS. Al-Qashash, 77). Pada aya-ayat lain Allah juga menyuruh manusia
untuk mengarungi derasnya air sungai dan dahsyatnya ombak lautan, luasnya
daratan dengan jalan yang berliku-liku penuh dengan semak-semak belukar,
tingginya lembah dan gunung serta lebatnya hutan belantara untuk dijadikan
sumber pendapatan atau hak milik sekalipun walaupun kepemilikan ini bukan
kepemilikan mutlak, yang semuanya akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pada konteks lain, Allah juga mengisyaratkan bahwa untuk menggapai
segala fasilitas yang disediakan secara gratis tersebut, manusia harus
memikirkan dan memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi, karena
tidak semua fasilitas yang ters edia dapat dimanfaatkan secara langsung
melainkan harus diolah lebih lanjut.
Berdasarkan
beberapa ayat yang dikutip di atas, maka tidak ada jalan lain bagi manusia
untuk mewujudkan kebutuhannya harus melalukan ikhtiar atau berusaha melalui
bekerja. Allah dan RasulNYA atau Islam secara tegas tidak memberikan tempat
kepada manusia untuk duduk berpangku tangan (menganggur) atau sekedar menunggu
rejeki yang datang dari arah mana saja tanpa melakukan usaha atau bekerja.
Manusia diciptakan secara sempurna dan susunan tubuh yang seimbang (Qs.
Al-Infitar, 7), sehingga dengan kesimbangan tubuh ini manusia dapat bergerak
secara dinamis dan hasil pergerakan ini akan memperlancar peredaran darah dan
melemaskan otot dan saraf yang pada akhirnya akan menyebabkan manusia selalu
berada dalam kondisi sehat sampai priode waktu tertentu (usia tertentu). Dalam
kontek ekonomi, manusia yang memiliki pekerjaan tetap pada bidang profesi
tertentu akan memperoleh pendapatan pula dan dari pendapatan tersebut dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan baik berupa materi yang tahan lama (harta)
maupun pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak tahan lama ( kebutuhan sehari-hari).
Dengan kondisi kesehatan yang stabil, maka produktivitas kerj a manusiapun
dapat meningkat yang tentunya akan mencapai hasil yang maksimal pula.
Uraian di
atas mengisaratkan bahwa meminta-minta itu akan menjatuhkan wibawa harkat
kemanusiaannya. Manusia dengan dilandasi akal pikiran harus mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya untuk berkarya, menghasilkan barang baru
meskipun hasil dari usaha tersebut belum tentu untuk memenuhi
kebutuhannya.Manusia harus yakin bahwa besar kecilnya rejeki yang diperoleh
merupakan ketentuan Allah SWT, dan disitulah letaknya keadilan Allah, jika
semuanya kaya siapa yang mau bekerja dan jika semuanya miskin lantas pada
lapangan kerja mana atau berapa produktivitas dan kemampuan untuk menghasilkan
yang memberikan kehidupan yang layak. Uraian di atas telah menunjukkan beberapa
ayat yang mengharuskan manusia berusaha agar menghindarkan diri dari rasa
pasrah, mengharapkan belas kasihan orang lain ataupun melakukan pekerjaan yang
terhina yaitu mengemis maupun menjadi gelandangan. Rasullah SAW melalui
beberapa hadistnya telah memberikan peringatan kepada umat manusia tentang
bahaya yang menimpa orang yang mem inta- minta atau pengemis.
Beberapa
hadist di atas menjadi landasan utama bagi umat manusia untuk mau mengembangkan
dirinya, tidak mengandalkan pada bantuan orang lain terlebih dengan meminta-minta
yang menyebabkan nilai dasar kemanusiaan yang terhormat ini menjadi rendah dan
terhina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar