Jumat, 27 November 2015

Penulisan 8



Dinamika Gelandangan dan Pengemis
Menurut Kementerian Sosial (2011) “Gelandangan” adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di tempat tertenrtu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan “Pengemis” adalah orang – orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untu k mengharapkan belas kasihan orang lain.

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa jumlah gelandangan terus mengalami penurunan yang signifikan, sementara jumlah pengemis mengalami peningkatan yang cukup tinggi, namun secara total jumlah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) mengalami penurunan pada tahun 2011 meskipun masih lebih besar dibanding tahun 2009. Penurunan jumah gelandangan tidak terlepas dari upaya keras pemerintah maupun pihak-pihak pemerhati masalah gelandangan agar permasalahan ini dapat dikurangi karena akan membawa dampak terhadap terhadap stabilitas social terutama di daerah perkotaan. Sementara pengemis, mengalami fluktuatif yang cukup tinggi karena golongan ini sulit diperkirakan perubahannya, terlebih pada waktu – waktu tertentu seperti perayaan hari keagamaan akan mengundang munculnya pengemis musiman, terlebih pad a bulan puasan dan lebaran.

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Nusa Tenggara Barat selama tahun 2008 -2011 mengalami dinamika yang berfluktuatif. Pada tahun 2008 berjumlah 1.314.268, meningkat menjadi 1.518.064 dan pada tahun 2011 turun menjadi 1.306.208. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh faktor internal manusia maupun faktor ekternalnya. Berbagai permasalahan yang ada didominasi oleh faktor internal yang dipengaruhi terutama berkaitan dengan kestabilan karakter maupun sifat manusia yang terkadang tidak dapat dikendalalikan. Faktor emosional didorong oleh hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan memicu timbulnya berbagai permasalahan yang berdampak pada masalah internal keluarga bahkan merambah kepada lingkungan yang lebih luas. Kekuatan dan kestabilan iman juga turut mendorong hawa nafsu untuk melakukan hal-hal di luar norma dan etika serta kurangnya dukungan pihak keluarga menyebabkan manusia melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran yang terkadang merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pada sisi lain, himpitan ekonomi yang semakin terdesak, menyebabkan mereka melakukan hal-hal yang semestinya tidak dilakukan, pekerjaan dan kesempatan kerja terbatas, akses untuk mengembangkan diri yang tertutup terutama berkaitan dengan aktivitas ekonomi, daya dukung lingkungan yang tidak ada sama sekali serta menipishnya rasa tenggang rasa dan kepedulian dari pihak lain semakin memberikan peluang untuk melakukan hal – hal yang mengarah pada instabilitas social. Sementara faktor ekternal yang memang di luar batas kemampuan seperti bencana alam, gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lainnya akan menambah derita yang berkepanjangan sehingga semakin menambah manusia yang tergolong sebagai penyandang masalah kesejahteraan social.

Berdasarkan tabeL di atas terlihat bahwa jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) pada tahun 2011 mengalami penurunan di banding tahun 2009 sebesar -9,19 persen, dan sebesar – 0,64 persen dibanding tahun 2008, namun terdapat beberapa jenis yang mengalami peningkatan. Dari gambaran data di atas, tampaknya masalah kesejahteraan social masih menjadi agenda utama yang tetap dijalankan oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Masalah kesejahteraan social memang tidak dapat dilepaskan dari permasalahan mendasar yaitu permasalahan ekonomi misalnya fakir miskin dan rawan social ekonomi yang membawa dampak luas terhadap timbulnya masalah social ( anak balita terlantar, anak terlantat, anak jalanan, gelandangan, pengemis) dan juga kondisi fisik rumah tempat tinggal mereka. Akibat lanjutannya adalah tercipta ketidak stabian social diantaranya timbul kekerasan dalam rumah tangganya. Menurut Usman (2012) dalam perspektyif sosiologi, kekerasan merupakan prilaku social yang menjadi produk dan stimulant perilaku – perilaku seseorang terhadap orang lain. Kekerasan merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat sedang “sakit” dimana faktor non adaptive lebih berkembang dari pada faktor adaptive. Dalam kondisi demikianmasyarakat dilanda krisis nilai dan norma social yang sejak lama disosialisasikan tidak lagi dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan interaksi social. Di samping itu norma social tidak mampu mengendalikan arah prilaku anggota masyarakat karena ada kekecewaan berat baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik maupun cultural, tidak terpenuhi. Meskipun data pada table di atas menunjukkan bahwa tindak kekerasan mengalami penurunan, namun gejala ini terus diwaspadai, mengingat akhir – akhir ini muncul berbagai peristiwa kekerasan dengan bentuk yang beraneka dan hanya dipicu hal- hal yang sederhana. Jika hal ini terus terjadi, maka pengentasan penduduk penyandang masalah kesejahteraan social dan pen capaian kesejahteraan sulit diwujudkan.

Berkaitan dengan hal ini, ekonomi Islam melihat aspek utama yang dikedepankan dan diperhatikan untuk mewujudkan kestabilan social sekaligus kesejahteraan social berpulang pada aspek sumberdaya manusia (SDM). Kita mengkaui bahwa hingga saat ini kualitas SDM masih sangat rendah dilihat dari berbagai indicator, sehingga sehingga berpeluang sekaligus berpotensi untuk menimbulkan instabiltas. Salah satu lokomotif pembentuka SDM berkualitas adalah bersumber dari lembaga mikro yang bernama keluarga.

Menurut Chapra (2010), keluarga tidak akan mampu menjalankan peran mereka; pertama, jika orang tua tidak memiliki kualitas pribadi yang memungkinkannya untuk mendidik anak-anaknya, dan kedua jika dalam sebuah keluarga tidak terdapat nuansa cinta dan perhatian, saling peduli dan menyanyangi. Jika dalam lingkup mikro sudah terdapat gejala demikian, maka dalam lingkup yang luaspun (masyarakat) akan sulit tercipta masyarakat idel yang diharapkan. Masyarakat ideal yang dimaksudkan adalah masyarakat dalam melakukan aktivitasnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai normative baik yang bersumber dari ajaran agama yang dianut maupun yang tercipta berdasarkan tradisi maupun kebiasaan. Menurut Kaelany (2005), masyarakat ideal yang diciptakan islam adalah masyarakat Mardhatillah karena masyarakat tersebut terbangun dan terbina oleh dan dala m struktur yang berpolakan hokum-hukum Allah dengan sumbernya Al-Qur’an dan sunnah Rasul.

Aktivitas ekonomi yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan tidak dapat terlepas dari aturan normative yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an, Al-Hadist maupun Ijtihad. Prinsip utama yang dikedepankan ekonomi Islam adalah tercapainya falah yaitu kebahagiaan umat manusia dilihat dari spiritual, moral dan social ekonomi di dunia dan kesuksesan di akhirat . Ssitem ekonomi islam bertujuan mencapai kesejahteraan ekonomi dan kebaikan masyarakat melalui distribusi sumber-sumber materiil yang merata dan melaui pen egakan keadilan social (Chaudry, 2012).

Berbagai jenis penyandang masalah kesejahteraan social di atas dikaitkan dengan tujuan dari ekonomi Islam, mengindikasikan bahwa tujuan tersebut masih jauh dari harapan, karena kebahagiaan yang dituju tidak dapat digapai bahkan semakin jauh, justru kesengsaraan , kenestapaan dan penderitaan yang sering bersahabat, keadilan distribusi masih jauh dari kenyataan justru yang muncul adalah penumpukan harta dan sikap individualisme. Sikap indiivualisme merupakan sikap yang dihasilkan oeh sistem ekonomi konvensional kapitalis, yang tidak mengenal adanya distribusi harta untuk pihak lain, justru orang dianjurkan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Buah karya dari sistem ini, semakin kita rasakan bahkan dengan jargon globalisasi sistem ekonomi konvensional kapitalis telah membuat kita terlena dengan segala strateginya.

Menurut Fakih (2011) proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkemabangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan menggelobalnya peran pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan – perusahaan transnasional yang kemudian dikuatkan oleh idiologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global. Atas dasar ini perekonomian global telah menimbulkan berbagai permasalahan baru bahkan krisis – demi krisis datang silih berganti dan titik akhirnya mem buat orang semakin jauh dari kesejahteraan dan menambah penyandang masalah kesejahteraan social.

Dari 22 jenis permasalahan social di atas, yang menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah baik pusat maupun NTB adalah Pengemis dan Gelandangan. Dalam kacamata ilmu ekonomi baik ekonomi konvensional terlebih ekonomi Islam masalah ini menjadi topic analisis dan kajian bahkan dijadikan sebagai sasaran utama dari tujuan pembangunan yaitu tercapai kesejahteraan hakiki sebagai manifestasi dari fungsi dan kedudukan manusia yang terhormat dan istimewa di muka bumi ini. Pengemis dan gelandangan terutama yang dilakukan oleh anak-anak akan membawa dampak negative bagi keberlanjutan kehidupannya di masa depan. Karena tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, serta terbiasa dengan meminta – minta menjadikan mereka menjadi generasi yang lemah, generasi yang hanya mengharapkan belas kasih dari orang lain, generasi yang tidak mandiri, generasi yang menjadi beban orang lain, dan dilihat dari kacamata Sumber Daya Manusia tergolong sebagai generasi dengan kualitas yang sangat rendah bahkan dilihat dari strata social mereka gergolong sebagai kelompok yang paling rendah jika tidak dikatakan terhina. Akibatnya, mereka tidak dapat mengembangkan dirinya, mereka hidup terlunta – lunta, berjalan dengan tidak arah dan tujuan yang jelas dan dilihat dari harkat kemanusiaan maka ia tergolong sebagai manusia yang tidak terhormat dan tidak istimewa lagi. Jika dilihat sebaran berdasarkan kabupaten/Kota jumlah pengemis dan gelandangan terlihat dalam table berikut.

Berdasarkan table di atas terlihat bahwa pada tahun 2008 Gelandangan berjumlah 633 orang mengalami peningkatan menjadi 1.275 orang pada tahun 2011 sementara pengemis mengalami penurunan dari 429 orang pada tahun 2008 menjadi 339 orang pada tahun 2011. Dilihat dari sebaran kabupaten/Kota, terlihat perubahan yang luar biasa khususnya yang terjadi di Kota Mataram. Jika pada tahun 2008 pengemis berjumlah 35 orang dan pada tahun 2011 tidak ditemukan satu pengemispun, namun gelandangan pada tahun 2011 berjumlah 962 orang yang semula berjumlah 187 orang pada tahun 2008. Fenomena ini menjadi permasalahan tersendiri bagi kota Mataram yang menjadi barometer perkembangan perekonomian di Nusa Tenggara Barat. Hal ini dikaitkan dengan fungsi ganda yang diperankan oleh kota Mataram sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang tentunya memiliki sarana dan infrastruktur yang lebih lengkap dibanding dengan Kabupaten/Kota lainnya, sehingga menarik masyarakat untuk mengadu nasibnya di kota ini meskipun dengan menjadi gelandangan atau mengemis sekalipun. Dampaknya adalah beban yang ditanggung kota Mataram semakin dan semakin membuka lebar permasalahan social ekonomi. Kebijakan strategis yang dilakukan oleh Kota Mataram berk aitan dengan masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng), telah dikeluarkan Perda No. 5 Tahun 2013.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk memberikan pemahaman kepada masyaraka agar mengurangi gelandangan dan kemiskinan, pada setiap tempat – tempat strategis telah dipasang spanduk yang berisi himbauan kepada masyarakat umum untuk tidak memanjakan dan memberi kepada Gelandangan dan Pengemis dalam bentuk apapun, karena cara demikian akan menambah jumlah Gelandangan dan Pengemis dan membiarkan mereka menjadi orang yang malas dan tidak mandiri. Cara ini dilakukan untuk meminimisasi dan menghapus kebiasaan masyarakat terutama anak-anak yang masih memiliki masa depan yang cerah dari kebiasaan meminta-minta termasuk bagi masyarakat lainnya dengan membawa nama yayasan atau rumah-rumah ibadah. Di Kabupaten Bima dan Kota Bima jumlah pengemis mengalami peningkatan sementara jumlah gelandangan mengalami peningkatan, dan prestasi yang luar biasa dicapai oleh Kabupaten Dompu, jumlah gelandangan maupun pengemis mengalami penurunan yang luar biasa dimana pada tahun 2009 jumlah gelandangan dan pengemis mencapai 492 orang dan pada tahun 2011 tinggal 84 orang, sedangkan kabupaten lainnya tidak mengalami perubahan jumlah gelandangan maupun pengemis. Secara total jumlah gelandangan dan pengemis di Nusa Tenggara Barat mengalami peningkatan dari 1.209 orang pada tahun 2009, menjadi 1.614 orang pada tahun 2011.

Mencermati tampilan data di atas, masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) masih menjadi agenda nasional dan daerah untuk memecahkannya, karena dilihat dari aspek manapun kondisi ini akan terus berkembang bila tidak dicarikan akar permasalahannya. Menjadi gelandangan atau mengemis secara ekonomi mendatangkan keuntungan bagi pelakunya, karena dengan melakukan pekerjaan itu mereka mendapatkan pendapatan yang banyak, sehingga pekerjaan ini dalam jangka panjang akan menjadi penyakit social.

Pemanfaatan dari hasil pekerjaan sebagai gelandangan maupun mengemis berdasarkan pantauan sesaat memang tertuju pada pemenuhan kebutuhan baik ekonomi maupun social, namun tidak sedikit dari hasil pekerjaan ini dimanfaatkan untuk hal-hal negative yang justru akan menciptakan permasalahan baru baik dalam lingkup mikro maupun makro. Seiring dengan perjalanan dan perputaran waktu, pekerjaan ini telah menghantarkan mereka untuk membuat keputusan yang pendek, karena tanpa mengorbankan tenaga yang besar, mereka mampu meraup pendapatan yang banyak, sehingga mengajak lagi saudara- saudara yang lainnya untuk mengikuti pekerjaan yang sama sehingga akan menyebabkan jumlahnya semakin bertambah. Timbullah sikap malas untuk berusaha dengan mengorbankan tenaga dan pikiran, timbullah sikap untuk menerima saja dan dampak negative lainnya.

Permasalahan gelandangan dan pengemis sangatlah tidak bijak bila semata – mata diarahkan kepada sifat dan sikap yang sumber dari pelaku sebagai faktor utama yang menimbulkannya. Namun kita harus bijak mengatakan bahwa permasalahan gepeng juga sebagai akibat dari proses pembangunan yang telah maupun yang akan dilaksanakan. Kebijakan – kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, terkadang tidak bersentuhan langsung dengan upaya pengurangan kemiskinan sehingga menimbulkan gelandangan dan pengemis. Kue pembangunan nasional hanya dinikmati oleh sebahagian kecil orang yang memang kondisinya sudah mapan, sementara mayoritas rakyat yang masih kekurangan masih berkutat dengan kekurangannya. Oleh karenanya dengan melihat realita yang terjadi disekelilingnya, mereka terpengaruh untuk melakukan pekerjaan meminta- minta meskipun nyawa dan fisik menjadi taruhannya, dan dililhat dari aspek spiritual mereka tidak lagi menghiraukannya yang penting mendapa t penghasilan dan dapat memenuhi kebutuhan.

Pemenuhan kebutuhan hidup dalam ekonomi Islam telah diatur sedemikian indah dan teratur dalam Al-Qur’an Maupun Al-Hadist karena ini memang menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh manusia. Hidup yang sejahtera dan bahagia mustahil tercapai tanpa ketercukupan secara financial, dan pengamalan ajaran agama yang benar. Sebagai makhluk social, dalam hidupnya manusia membutuhkan adanya manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat, karena menurut sunnatullah, tidak mungkin manusia dapat hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling ketergantungan dengan manusia lain (Chalil, 2009). Dalam kontek inilah, ekonomi islam mengajarkan bahwa manusia yang satu haru berusaha dan berikhiar untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa yang selanjutnya barang dan jasa tersebut dapat dipertukarkan dengan manusia yang lain yang menghasilkan barang dan jasa yang berbeda. Dari hasi barang dan jasa ini dihasilkan pendapatan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya, dan Allah sudah menggariskan bahwa tidak ada satu manusiapun yang memiliki rejeki yang sama, ada yang banyak dan ada yang sedikit. Dari manusia yang menghasilkan pendapatan yang banyak (kaya) dapat mendistribusikan sebagian hartanya untuk orang lain yang kurang mampu. Inilah yang menjadi prinsip utama ekonomi islam, yaitu terciptanya distribusi harta untuk mewujudkan keadilan. Kerangka keadilan memungkinkan setiap orang memiliki peluang, control dan manfaat dari alokasi pembangunan yang berlangsung secara proporsional. Berkaitan dengan hal tersebut, islam sangat menjunjung tinggi hak kepemilikan individu atas sesuatu (Amalia, 2009). Prinsip distribusi harta atau kekayaan dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekayaan pada satu golongan sementara golongan lain tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga mengakibatkan mereka melakukan pekerjaan meminta- minta yang sangat tidak ditolerir dalam Islam.

Meminta – Minta dalam Perspektif Ekonomi Islam
Islam sebagai agama samawi yang terakhir, diturunkan untuk memperbaiki harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan istimewa agar memiliki derajat yang berbeda dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Melalui kitab suci Al-Qur’an dan hadist –hadist Rasulullah SAW telah menjadikan serta menempatkan manusia sebagai subyek sekaligus obyek dalam aktivitas kehidupan di dunia. Manusia memiliki unsur yang sempurna dan lengkap dan diciptakan dalam bentuk yang terbaik (QS. At-tin ayat 4) di antaranya diberikan kelebihan AKAL yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia kecuali Malaikat, itupun bersifat statis, artinya akal malaikat hanya dipergunakan untuk mengabdi/menyembah Allah SWT, sementara akal manusia bersifat dinamis. Oleh karenanya, manusia diwajibkan untuk menjelajah bumi dan isinya dengan melakukan aktitivitas atau bekerja. Upaya dan ikhtiar yang dilakukan oleh manusia melalui bekerja merupakan sunatullah, sekaligus sebagai manifestasi dari rasa tanggung jawab manusia sebagai hamba Allah yang bertugas sebagai pemimpin (khalifah). Wujud dari kepemimpinan manusia adalah memanfaatkan seluruh yang tersedia di bumi dan isinya untuk mencapai kesejahteraan hakiki di dunia dan di akhirat. Namun Allah SWT memberikan rambu-rambu bahwa jalan dan cara untuk mencapai kesejahteraan hakiki tersebut, manusia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya, memusatkan pemenuhan jangka pendek dengan menguras habis seluruh potensi dan isi bumi tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kelestarian untuk generasi yang akan datang (QS. Al-Qashash, 77). Pada aya-ayat lain Allah juga menyuruh manusia untuk mengarungi derasnya air sungai dan dahsyatnya ombak lautan, luasnya daratan dengan jalan yang berliku-liku penuh dengan semak-semak belukar, tingginya lembah dan gunung serta lebatnya hutan belantara untuk dijadikan sumber pendapatan atau hak milik sekalipun walaupun kepemilikan ini bukan kepemilikan mutlak, yang semuanya akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada konteks lain, Allah juga mengisyaratkan bahwa untuk menggapai segala fasilitas yang disediakan secara gratis tersebut, manusia harus memikirkan dan memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi, karena tidak semua fasilitas yang ters edia dapat dimanfaatkan secara langsung melainkan harus diolah lebih lanjut.

Berdasarkan beberapa ayat yang dikutip di atas, maka tidak ada jalan lain bagi manusia untuk mewujudkan kebutuhannya harus melalukan ikhtiar atau berusaha melalui bekerja. Allah dan RasulNYA atau Islam secara tegas tidak memberikan tempat kepada manusia untuk duduk berpangku tangan (menganggur) atau sekedar menunggu rejeki yang datang dari arah mana saja tanpa melakukan usaha atau bekerja. Manusia diciptakan secara sempurna dan susunan tubuh yang seimbang (Qs. Al-Infitar, 7), sehingga dengan kesimbangan tubuh ini manusia dapat bergerak secara dinamis dan hasil pergerakan ini akan memperlancar peredaran darah dan melemaskan otot dan saraf yang pada akhirnya akan menyebabkan manusia selalu berada dalam kondisi sehat sampai priode waktu tertentu (usia tertentu). Dalam kontek ekonomi, manusia yang memiliki pekerjaan tetap pada bidang profesi tertentu akan memperoleh pendapatan pula dan dari pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan baik berupa materi yang tahan lama (harta) maupun pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak tahan lama ( kebutuhan sehari-hari). Dengan kondisi kesehatan yang stabil, maka produktivitas kerj a manusiapun dapat meningkat yang tentunya akan mencapai hasil yang maksimal pula.

Uraian di atas mengisaratkan bahwa meminta-minta itu akan menjatuhkan wibawa harkat kemanusiaannya. Manusia dengan dilandasi akal pikiran harus mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk berkarya, menghasilkan barang baru meskipun hasil dari usaha tersebut belum tentu untuk memenuhi kebutuhannya.Manusia harus yakin bahwa besar kecilnya rejeki yang diperoleh merupakan ketentuan Allah SWT, dan disitulah letaknya keadilan Allah, jika semuanya kaya siapa yang mau bekerja dan jika semuanya miskin lantas pada lapangan kerja mana atau berapa produktivitas dan kemampuan untuk menghasilkan yang memberikan kehidupan yang layak. Uraian di atas telah menunjukkan beberapa ayat yang mengharuskan manusia berusaha agar menghindarkan diri dari rasa pasrah, mengharapkan belas kasihan orang lain ataupun melakukan pekerjaan yang terhina yaitu mengemis maupun menjadi gelandangan. Rasullah SAW melalui beberapa hadistnya telah memberikan peringatan kepada umat manusia tentang bahaya yang menimpa orang yang mem inta- minta atau pengemis.

Beberapa hadist di atas menjadi landasan utama bagi umat manusia untuk mau mengembangkan dirinya, tidak mengandalkan pada bantuan orang lain terlebih dengan meminta-minta yang menyebabkan nilai dasar kemanusiaan yang terhormat ini menjadi rendah dan terhina.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar